GuidePedia

0
Bagaimana Hukum Ikut Merayakan Tahun Baru Masehi dalam Islam?
Perayaaan tahun baru masehi merupakan tradisi keagamaan yang menjadi ritual perayaan bagi kaum Nasrani di Timur dan Barat. Dan kini perayaan tersebut telah menyebar dan diikuti oleh banyak orang dari seluruh penjuru dunia, khususnya kaum muslimin. Kini banyak dari masyarakat Muslim ikut serta merayakan Tahun Baru Masehi tanpa memandang apakah layak dan boleh bagi Muslim ikut serta dalam merayakannya ataukah hal tersebut dilarang dalam agama?
Sebelum menelisik hukum merayakan tahun baru masehi dalam pandangan Islam, maka terlebih dahulu kita harus mengetahui sejarah awal diadakannya ritual perayaan tersebut. Perayaan tahun baru masehi memiliki sejarah panjang. Banyak di antara orang-orang yang ikut merayakan hari itu tidak mengetahui kapan pertama kali acara tersebut diadakan dan latar belakang mengapa hari itu dirayakan.
Kegiatan ini merupakan pesta warisan dari masa lalu yang dahulu dirayakan oleh orang-orang Romawi. Mereka (orang-orang Romawi) mendedikasikan hari yang istimewa ini untuk seorang dewa yang bernama Janus, The God of Gates, Doors, and Beeginnings. Janus adalah seorang dewa yang memiliki dua wajah, satu wajah menatap ke depan dan satunya lagi menatap ke belakang, sebagai filosofi masa depan dan masa lalu, layaknya momen pergantian tahun. (G Capdeville “Les épithetes cultuels de Janus” in Mélanges de l’école française de Rome (Antiquité), hal. 399-400)
Fakta ini menyimpulkan bahwa perayaan tahun baru sama sekali tidak berasal dari budaya kaum muslimin. Pesta tahun baru masehi, pertama kali dirayakan orang kafir, yang notabene masyarakat paganis Romawi.
Acara ini terus dirayakan oleh masyarakat modern dewasa ini, walaupun mereka tidak mengetahui spirit ibadah pagan adalah latar belakang diadakannya acara ini. Mereka menyemarakkan hari ini dengan berbagai macam permainan, menikmati indahnya langit dengan semarak cahaya kembang api, dsb.

Hukum Merayakan Tahun Baru Masehi Dalam Islam

Islam adalah agama yang telah sempurna yang tidak memerlukan penambahan ataupun pengurangan sedikitpun. Semua syariatnya komprehensif telah mengatur semua urusan, hukum-hukumnyapun telah komplit tanpa memerlukan amandement.
Dalam Islam hanya mengenal dua perayaan, yaitu hari raya iedul fitri dan hari raya iedul adha. Dan ini telah cukup. Maka merayakan hari raya selain yang telah ditentukan syariat pada asalnya adalah terlarang, karena hal itu merupakan bagian dari ibadah. Kecuali jika ada dalil atau nash yang jelas mensyariatkannya atau membolehkannya. Turut merayakan tahun baru statusnya sama denganmerayakan hari raya orang kafir. Dan ini hukumnya terlarang. Di antara alasan statement ini adalah:
Pertama, turut merayakan tahun baru sama dengan meniru kebiasaan mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita untuk meniru kebiasaan orang jelek, termasuk orang kafir. Beliau bersabda,
من تشبه بقوم فهو منهم
Siapa yang meniru kebiasaan satu kaum maka dia termasuk bagian dari kaum tersebut.” (Hadis shahih riwayat Abu Daud)
Abdullah bin Amr bin Ash mengatakan,
من بنى بأرض المشركين وصنع نيروزهم ومهرجاناتهم وتشبه بهم حتى يموت خسر في يوم القيامة
“Siapa yang tinggal di negeri kafir, ikut merayakan Nairuz dan Mihrajan (hari raya orang majusi), dan meniru kebiasaan mereka, sampai mati maka dia menjadi orang yang rugi pada hari kiamat.”
Kedua, mengikuti hari raya mereka termasuk bentuk wala’ (rasa cinta) kepada mereka. Padahal Allah melarang kita untuk menjadikan mereka sebagai kekasih (baca: memberikan loyalitas) dan menampakkan cinta kasih kepada mereka. Allah berfirman,
يا أيها الذين آمنوا لا تتخذوا عدوي وعدوكم أولياء تلقون إليهم بالمودة وقد كفروا بما جاءكم من الحق …
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (rahasia), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu..” (QS. Al-Mumtahanan: 1)
KetigaHari raya merupakan bagian dari agama dan doktrin keyakinan, bukan semata perkara dunia dan hiburan. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang di kota Madinah, penduduk kota tersebut merayakan dua hari raya, Nairuz dan Mihrajan. Beliau pernah bersabda di hadapan penduduk madinah,
قدمت عليكم ولكم يومان تلعبون فيهما إن الله عز و جل أبدلكم بهما خيرا منهما يوم الفطر ويوم النحر
Saya mendatangi kalian dan kalian memiliki dua hari raya, yang kalian jadikan sebagai waktu untuk bermain. Padahal Allah telah menggantikan dua hari raya terbaik untuk kalian; idul fitri dan idul adha.” (HR. Ahmad, Abu Daud, dan Nasa’i).
Perayaan Nairuz dan Mihrajan yang dirayakan penduduk madinah, isinya hanya bermain-main dan makan-makan. Sama sekali tidak ada unsur ritual sebagaimana yang dilakukan orang majusi, sumber asli dua perayaan ini. Namun mengingat dua hari tersebut adalah perayaan orang kafir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya. Sebagai gantinya, Allah berikan dua hari raya terbaik: Idul Fitri dan Idul Adha.
Untuk itu, turut bergembira dengan perayaan orang kafir, meskipun hanya bermain-main, tanpa mengikuti ritual keagamaannya, termasuk perbuatan yang telarang, karena termasuk turut mensukseskan acara mereka.
Akhirnya, semoga Alloh subhanahu wata’ala mencerahkan hati-hati setiap muslim dengan hidayah-Nya, dan memberikan kecintaan kepada hati-hati mereka terhadap iman dan membenci kekafiran. Sehingga mereka akan terbebas dari perangkap syetan durjana yang senantiasa berusaha menyesatkan setiap muslim dari jalannya yang lurus.
Mudah-mudahan artikel ini “Bagaimana Hukum Ikut Merayakan Tahun Baru Masehi dalam Islam?”bisa menambah wawasan keislaman anda.
http://dainusantara.com/bagaimana-hukum-ikut-merayakan-tahun-baru-masehi-dalam-islam/

Posting Komentar

Printfriendly

 
Top